Musim kemarau hampir berakhir. Setiap hari warga semut hitam
semakin sibuk mengumpulkan makanan untuk persediaan di musim penghujan
nanti.
Demikian halnya di pagi yang cerah ini. Mereka keluar rumah hendak
mencari makan. Wajah – wajah mereka tampak bersemangat. Simi dan Simo
tak mau ketinggalan. Sejak matahari belum terbit, mereka berdua telah
siap untuk bekerja. Warga semut hitam berpencar ke segala arah. Ada yang
berpencar ke arah barat, timur, selatan maupun utara. Meskipun
berpencar, tetapi jika ada salah satu diantara mereka menemukan tempat
yang banyak makanannya, maka teman – teman yang lain segera diberi tahu.
Setelah berkumpul, mereka pun mengangkat makanan itu sedikit demi
sedikit secara beriringan. Pagi ini Simi dan Simo bersepakat mencari
makan bersama – sama. Mereka bersepakat untuk mencari makan ke arah
barat. Sambil bernyayi – nyanyi, keduanya berjalan dengan tegap. Langkah
kaki mereka mantap seperti prajurit yang akan bertempur di medan laga.
Sesekali mereka berhenti menyanyi untuk menyapa makhluk lain yang mereka
jumpai di jalanan. Belum lagi sampai di tujuan, mendadak langkah mereka
terhenti. Sayup – sayup Simi dan Simo mendengar rintihan seekor semut
yang mengaduh kesakitan. Arah suara itu datang dari parit. “Jalan disini
agak terjal, tentu semut yang malang ini terpeleset dan jatuh ke dalam
parit,” duga Simi dalam hati. Mereka berdua mendekat ke arah datangnya
suara itu. Begitu sampai, mata Simi terbelalak sebab dugaannya benar. Ia
menjumpai seekor semut merah yang tak berdaya tergeletak di dalam
parit.
Kaki, tangan dan kepalanya luka parah karena terbentur batu.
Sungguh kasihan semut merah itu. Simi terharu melihatnya. Namun Simo tak
demikian. Ia diam saja, bahkan wajahnya justru dipalingkan ke arah
lain. “Simo jangan diam saja, ayo kita tolong,” ajak Simi. “Tidak mau,
aku tak sudi menolongnya,” jawab Simo tegas. “Mengapa?” tanya Simi
keheranan. “Dia kan bukan warga kita. Kamu ingat kan Simi? Sudah berkali
– kali warga semut hitam yang memasuki wilayah semut merah diusir dan
dimusuhi. Untuk apa kita susah – susah menolongnya,” jawab Simo dengan
wajah kesal. “Kalau kamu mau menolong, silahkan! Aku akan melanjutkan
perjalanan ini,” kata Simo sambil melangkah pergi. “Hai tunggu dulu!,”
pinta Simi. Simo terus saja pergi. Dia tak mau lagi mendengarkan
kelanjutkan kata – kata Simi. Tekatnya sudah bulat untuk tidak menolong
semut merah yang dianggapnya sebagai musuh. “Biar bagaimanapun juga
semut ini harus kutolong. Meskipun ia bukan berasal dari semut hitam,
tetapi dia juga seperti aku. Sama – sama makhluk ciptaan Tuhan. Aku
harus membawanya ke rumah dan merawatnya. Jika tidak segera kutolong aku
khawatir keadannya akan semakin memburuk,” kata Simi dalam hati.
Akhirnya semut merah yang luka parah itu digendong Simi dan dibawa ke
rumah. Selama di perjalanan, walaupun berkata pelan – pelan dan terputus
– putus, semut merah itu masih sempat memperkenalkan diri. Dia bernama
Simer semut dan rumahnya di desa Mutbang. Selain itu diceritakannya juga
mengenai kejadian yang baru saja menimpanya. Sudah enam hari Simer
dirawat di rumah Simi semut.
Setelah luka – lukanya sembuh, Simer minta
diri untuk pulang ke rumahnya. Simi semut mengizinkan. Namun Simi tak
sampai hati jika Simer pulang sendirian. Oleh karena itu, Simi pun
mengantar Simer sampai di perbatasan. Sebelum berpisah, Simer berkali –
kali mengucapkan terima kasih atas kebaikan Simi yang dengan rela mau
berkorban untuk dirinya. Ketika memasuki wilayah warga semut merah,
Simer melihat perkelahian yang tidak seimbang. “Hai hentikan!” kata
Simer. Ternyata Simer menjumpai Simo yang sedang dikeroyok oleh empat
ekor semut merah, teman – teman Simer. “Sabarlah dulu teman – teman,”
kata Simer pada keempat teman – temannya. “Mengapa bisa jadi begini?”
katanya lagi. “Simer, kau lihat sendiri kan? berani – beraninya semut
hitam ini menginjakkan kakinya di wilayah kita. Kalau tidak dihajar
begini dia pasti akan masuk ke wilayah kita lagi. Selain itu, kalau kita
berada di wilayahnya tentu kita akan dimusuhi,” jawab salah satu semut
membela diri. “Sudah.. Sudah,” kata Simer. “Sebenarnya hal semacam ini
tidak perlu lagi kita permasalahkan. Bukankah kita masih saudara?
Sama –
sama bangsa semut. Untuk apa kita terus – menerus bermusuhan? Tidakkah
lebih baik kita bersahabat dan saling menolong? Oleh karena itu, ayo
kita galang kerukunan diantara warga semut merah dan semut hitam,” ajak
Simer. “Tidak bisa!” kata salah satu semut merah. “Tunggu dulu,” kata
Simer dengan sabar. “Kita tidak bisa hidup tanpa bantuan dan pertolongan
makhluk lain. Jadi, mau tidak mau kita wajib membina persahabatan dan
menghindari adanya permusuhan,” kata Simer tegas. “Aku akan bercerita.
Beberapa hari yang lalu, aku terperosok di parit. Kaki, tangan dan
kepalaku luka parah, sehingga aku tidak dapat bangun. Nah, kebetulan ada
dua ekor semut hitam yang lewat disitu, yaitu Simi semut dan Simo
semut. Aku ditolong dan dirawat di rumah Simi sampai luka – lukaku
sembuh,” cerita Simer kepada teman – temannya. “Nah, apakah kita harus
saling bermusuhan lagi?” tanya Simer kepada mereka. “Tidak ada gunanya
kita saling bermusuhan bukan?” tanyanya lagi. Akhirnya mereka sepakat
untuk tidak bermusuhan lagi. Mereka saling memaafkan kesalahan masing –
masing. Demikian juga dengan Simo semut. Ia juga minta maaf kepada Simer
atas kekasarannya beberapa hari yang lalu. Selanjutnya warga semut
hitam dan semut merah hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Lukas 6:35 Tetapi kamu, kasihilah
musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi
anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang
tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Sumber: www.yhs.net
Komentar :
Posting Komentar